Si Tua itu.,

img_20161024_editedTidak banyak yang teringat dari malam itu. Malam yang biasa-biasa saja sebenarnya. Tidak banyak juga yang bisa diingat rasanya. Sedikit saja hal yang aku rasa penting saat-saat ini. Kepala ini pun terlampau lelah untuk menampung banyak informasi. Bukan salah si kepala juga sebetulnya, tapi memang badan ini yang sudah terlanjur peyot. Di usiaku sekarang, aku sadar aku masih beruntung masih bisa sedikit bekerja, tidak banyak yang didapat memang, tapi kalau disimpan sedikit demi sedikit sepertinya lumayan jadi bekal buat cucuku.

Ah iya, cucuku waktu itu belum sebulan lahir. Ia adalah anak pertama dari putri sulungku. Manis sekali anak itu, kulitnya putih dan bersih, senyum kenesnya melukiskan garis lengkung di bibir keriput kami. Kehadiran anak itu jelas menambah bara semangat di badan perapian tua reyot ini. Saban hari sejak kelahirannya, aku jadi bekerja lebih awal dan pulang lebih larut.

Bandung lagi sering hujan kala itu. Tiap episodenya, berujung pada menggigilnya badan yang menggertakkan sendi-sendi tua tubuh ini. Sungguh, ada kalanya dingin begitu menusuk aku pun harus mengurungkan niatku untuk bekerja. Aku pikir, badan ini sudah terlalu merepotkan. Namun biar perlahan, badan ini terus kupaksa demi sang cucu yang amat kusayang itu. Biar meriang pun, aku tetap bertugas, payung dan jaket usang tak lupa kubawa dalam tugasku. Iya, aku ingat. Kala itu aku sedang tidak enak badan sebenarnya. Badanku terasa sakit semua, sendiku kaku bagai besi yang termakan karat menahun. Hujan zonder ampun terus turun semenjak siang tadi.

Selewat jam 9 malam kalau tidak salah waktu itu. Hujan ganti jadi gerimis, tapi biar kecil, gerimis terus bikin Balubur basah. Biar cuma rintik, air masih jadi musuh para motoris, jadi sedikit yang parkir. Aku jadi bisa istirahat dan duduk sebentar, lagipula dengkul kaki kananku mulai kumat sakitnya.

Saban malam jajanan kaki lima Balubur memang selalu jadi andalan mahasiswa-mahasiswa dan orang-orang buat makan. Sambil aku pijat sedikit kaki ini, beberapa anak muda silih berganti datang membeli makan di warung tenda Bu Nur. Warung Bu Nur ini selalu ramai pelanggan, harga yang murah dan porsi yang besar bikin mahasiswa-mahasiswa jadi getol datang tiap malam.

Gerimis mulai mereda, tapi Balubur terlanjur larut dan mulai menyepi, Warung Bu Nur juga jadi mulai sedikit pembeli. Pelanggannya jadi berkurang. Ada juga Si ‘Neng geulis yang biasa datang agak pagi sekarang malah baru datang, mungkin karena tadi sorean masih agak deras hujannya. Si Neng ini hampir tiap malam beli makan di Balubur, kadang sendiri kadang sama teman-temannya. Orangnya baik, kelihatannya begitu, ia sering bercakap juga dengan Bu Nur waktu beli makanannya. Aku rasa umurnya tidak berbeda jauh dengan putriku.

Akan tetapi, Bu Nur kedatangan tamu lain selain Si Neng yang telat datang. Tidak berapa lama, datang sesosok tua bergontai masuk ke Warung Bu Nur. Si tua itu lusuh, kumel, basah dan bau. Lagaknya seperti orang gila, tapi peristiwa waktu itu bikin aku jadi berpikir sedikit lain soal kewarasannya. Rambutnya panjang dan menguban, jalannya sedikit menyeret, bisa jadi kakinya sakit seperti kakiku juga. Si tua itu membawa banyak kantung plastik di tangannya. Entah apa isinya, barangkali benda-benda aneh.

Si tua itu berhenti tepat di sisi meja dimana Si Neng duduk. Tangannya mengayun pelan kearah mulutnya, jemarinya dikatupkan menyuapkan udara seraya berkata lirih “makan…”. Minta makan ? Ucapannya pelan, aku tidak bisa mendengar dengan cukup jelas tapi geraknya berkata demikian. Bukan uang, hanya mau makan. Si Neng jelas menunjukkan rasa pedulinya dengan mengangguk, senyum dan kemudian bertanya “Ibu…, mau makan apa ?”

Nenek itu mengangguk dan dengan terputus-putus bilang “Sama … Samakan saja…”

“Bu, saya pesan nasi goreng spesialnya satu lagi yah..!” Si Neng sedikit berteriak memesankan makanan untuk nenek tersebut. Mengapa tidak minta uang saja, pikirku, bukannya begitu lazimnya? Si Neng kelihatannya mencoba mengajak mengobrol nenek itu terus. Mungkin ingin sedikit mengorek asal usul si nenek, mungkin ingin membantu si nenek. Entahlah.

Sedangkan aku, aku jadi termenung sedikit. Mungkin juga bisa dibilang terhenyak.

Si nenek itu, dipikir pikir, usianya sebenarnya tidak jauh berbeda denganku. Ah, malahan mungkin sama umur kita. Tapi coba lihatlah, aku sama si nenek itu. Dua orang tua dengan nasib yang berbeda sedikit saja. Sungguh ! Biarpun aku tidak compang-camping dan tidak mengemis, aku pun harus berjuang mati-matian untuk menghadirkan makanan saban hari. Belum lagi soal kontrakan rumah yang harus dibayar, soal hutang-hutang yang tak kunjung berkurang dan jangan lupakan juga soal kesehatan istriku yang semakin memburuk.

Pusing, bukan main pusingnya mengingat persoalan-persoalan itu semua. Bisa pecah kepalaku memikirkan itu semua. Demi Tuhan ! Mungkin lebih mudah hidup jadi orang semacam nenek ini. Iya toh, makan tinggal minta, tidur tinggal tidur, kencing tinggal kencing. Kalau bukan karena si cucu, bukan mustahil aku mengemis seperti si nenek itu.

MasyaAllah ! Si Cucu. Cucuku ! Itulah perbedaanku dengan si nenek tua ini. Itu !

Badan peyot dan renta ini jelas tidak sanggup bertahan selama ini kalau bukan karena istriku. Istriku yang terus menitipkan semangatnya lewat teh kelewat manis saban paginya. Anak-anakku, yang mana satunya telah melahirkan cucuku, yang terus menghadirkan cerita-cerita barunya untuk selalu zonder bosan kudengar. Merekalah yang bikin hidup ini jadi merasa mardika.

Mungkin begitulah nasib sang nenek ini. Bukan, sesungguhnya dia bukan pengemis dan bukan juga orang gila, dia masih bisa bercakap-cakap dengan Si Neng walau dengan terbata-bata. Ucapannya bisa dimengerti dengan baik. Dia bisa meminta makanannya untuk tidak dimasak dengan pedas dan malahan memberkati Si Neng berulang kali dengan ucapan terima kasihnya. Tidak, nenek ini jelas ditelantarkan. Nenek ini jelas kehilangan barang paling berharganya.

Nenek ini kehilangan keluarganya !

Published by

ocean916

https://www.facebook.com/Dominic.Oki.Ismoyo

2 thoughts on “Si Tua itu.,”

Leave a comment